Teruntuk adinda yang masih berupa tanda tanya…
Maaf Bidadariku…
Maaf Bidadariku…
jika aku terlambat menjemputmu.
Namun sampaikah pesan yang kutitipkan pada angin di tepi sunyi kala itu?
Tentang sebongkah rindu yang tak mampu lagi kuredam dalam kalbu.
Tentang segenggam peluh yang menguap atas letihku,
demi menyambut lentik cantik jemarimu.
Maaf Bidadariku…
Maaf Bidadariku…
jika aku tak segera mengejarmu.
Itu bukan karena ku tak mampu atau bahkan tak peduli pada detik yang terus memburu.
Tapi karena kutahu, indahnya pertemuan bukan terletak pada percepatan waktu, apalagi dengan lamanya menunggu.
Aku hanya tak mau mataku buta,
sehingga tak mampu lagi membedakan mana cinta dan mana bencana.
Maaf Bidadariku…
Maaf Bidadariku…
jika aku membiarkanmu berlalu.
Aku hanya tak ingin mengajakmu terbang, sementara sayapmu masih dapat berkembang.
Kubiarkan engkau untuk terus maju,
hingga nanti kita bisa bersama mengukir sejarah baru tanpa banyak berseteru.
Maaf Bidadariku…
jika aku masih saja terpaku.
Ada banyak rahasia yang masih belum bisa kumengerti,
mengingat hatimu serupa lautan misteri yang tak berkesudahan untuk diselami.
Beri aku sedikit waktu,
agar aku pandai meramu,
hingga senantiasa kusemai cahaya dari jelita wajahmu.
Maaf Bidadariku…
jika aku membuatmu menunggu.
Namun bukankah penantian itu menjadi bukti nyata adanya perjuangan?
Bukankah perjuangan itu menjadi bukti nyata adanya cinta?
Maka biarkanlah waktu yang akan menyibak semua tanya,
kapan kita bertemu dan bagaimana kita bersatu.
0 comments:
Post a Comment